Menarik sekali pertanyaanmu. Menanggapi perkataan saya bahwa saya sedang repot belajar Matematika Teknik 1 untuk semester depan, pertanyaan pertama kamu adalah, apa itu Matematika Teknik 1. Jawaban saya barangkali tak menjawab pertanyaanmu, karena inilah jawaban saya ketika itu: Matematika Teknik 1 itu Variabel Kompleks. Pertanyaan tentang Variabel Kompleks darimu membuat frasa ‘bilangan khayal’ terpancing keluar dari mulut saya. Pertanyaan berikutnya darimu adalah apa itu bilangan khayal. Saat kamu menanyakan itu, dan bahkan sambil menjawab pertanyaanmu itu, pikiran saya melayang ke soal lain yang tidak tersangkut langsung dengan terminologi bilangan khayal. Saya memikirkan pertanyaanmu beberapa hari sebelumnya, entah apa topiknya, tapi ekor pertanyaanmu itu adalah “Apa relevansinya di dunia nyata?” atau mungkin “Prakteknya apa sih?” atau pertanyaan lain sebangsanya.
Saya ingin menuliskan sesuatu tentang dunia lain yang tidak bisa tersentuh dunia nyata yang dangkal ini. Ada dunia lain di dalam bertumpuk-tumpuk buku teori, sungguh. Dan betapa saya ingin hidup di dunia itu, kalau saja saya bisa.
Di dunia nyata, kita malu berbantahan tentang mimpi. Betapa kita takut dicap tidak rasional, tidak praktis. Di dunia teori, filsuf-filsuf terkemuka tanpa malu-malu membedah mimpi. Berbantahan juga mereka yang mengerti mekanisme otak manusia, ya, dokter-dokter pongah itu, tentang mesin mimpi di dalam kepala kita, yang membuat hidup lebih indah dengan film horor, laga, atau erotis setiap malam. (Ya, manusia bermimpi setiap malam! Hanya kita tak selalu sanggup mengingatnya. Tapi tulisan ini bukan tentang mimpi.) Walaupun dalam kehidupan nyata mereka membentak istri-istri mereka yang menangis saat menonton drama televisi, dan mengatai anak perempuan mereka yang sedang jatuh cinta irasional, dalam dunia teori merekalah yang dengan penuh emosi dan melodrama mengatakan mimpi adalah salah satu bahan baku kehidupan. Ah! Dunia teori dan dunia nyata.
(Kalau boleh memilih, saya ingin hidup di dalam buku. Saya tidak ingin melihat dunia yang ini. Yang katamu nyata…)
Di dunia nyata, kita menjentikkan saklar dan lampu menyala terang. Kita tak pusing dengan teori pembangkitan listrik, kita pusing dengan hal-hal maha penting di dunia nyata: makan, minum, bekerja, tidur, bercinta. Tukang listrik tak punya waktu untuk berbantahan tentang pergerakan elektron dan hole. Dia tahu membetulkan lampu. Dia bisa membantumu merancang instalasi penerangan di rumah dan hotelmu, bahkan menggambar denah plus diagram pengkawatan dan memasangnya sekalian. Tapi dia tak ingin tahu kenapa arus listrik dapat dituliskan dalam bentuk polar atau koordinat kartesian.
Di dunia teori, ada rumus yang bercerita lengkap tentang arus listrik hingga ke anak-cucunya. Hingga ke hobi dan cita-citanya. (Seumur hidupnya, arus hanya ingin bergerak dari potensial tinggi ke potensial rendah. Perhitungan matematis membebaskan khayalmu, membolehkan kamu menganggap dia bergerak sebaliknya, tapi ingat, arus tidak boleh berharga negatif.) Bukan tukang listrik memang yang mereka-reka kelakuan arus. Hanya pemimpi yang melakukannya. Pemimpi-pemimpi yang melayang-layang dalam dunia teori, dalam khayal sendiri, mereka inilah yang menemukan superkonduktor. Ternyata, bukan tukang listrik yang menemukannya.
(Kalau boleh memilih, saya ingin tinggal di dalam buku. Saya tidak ingin melihat dunia yang ini. Sekedar menjentikkan saklar dan memandangi lampu menyala secara ‘ajaib’ terlalu membosankan.)
Di dunia nyata, saya perempuan dan kamu laki-laki. Saya tidak boleh masuk ke toilet dengan gambar manusia tanpa rok di pintunya. Kamu tidak boleh menangis waktu menonton film drama Korea. Saya tidak boleh merokok di pinggir jalan dan menyiuli laki-laki tampan yang lewat. Kamu tidak boleh melompat ke kursi waktu seekor tikus got lewat di bawah mejamu.
Di dunia teori, di dalam buku-buku itu, ternyata, astaga, kita sama. Dengan parameter pembanding yang sama, volume darahmu lebih banyak dari saya, juga kapasitas paru-parumu dalam menampung oksigen, juga massa ototmu. Saya tak mampu berlari secepat kamu: bukan saja karena paru-paru saya akan meledak karenanya, tapi juga karena pinggul saya bulat, tak ideal untuk berlari, juga mendaki. Cortex collosum, jembatan penghubung antara otak kiri dan otak kanan saya, lebih tebal dari milikmu. Arus listrik dari otak kiri ke otak kanan saya mengalir lebih lancar, sehingga sambil berkata-kata rasional, saya mampu menangis dengan kecengengan irasional. Sungguh sesuatu yang tidak mampu kamu lakukan, kamu selamanya terkungkung dalam yang rasional. Tapi, kata teori, kita sama. Semua kelebihanmu menyempurnakan kekurangan saya. Semua kelebihan saya memerlukan kekuranganmu. Saya berhak hidup bebas, berhak bersekolah, berhak memilih pekerjaan, dan berhak dihukum atas kesalahan saya, sama seperti kamu.
Kalau boleh memilih, saya ingin tinggal di dalam buku. Saya tidak ingin melihat dunia yang ini. Karena saya ingin satu laki-laki super rasional yang gemar berteriak “Jawab! Pikir! Jawab saya! Yang jelas kalau bicara!” di telepon, mengetahui bahwa saya sama persis dengannya. Saya ingin dia dibolehkan menangis waktu merasa putus asa, dan saya ingin dibolehkan mengambil semua keputusan yang perlu dibuat sewaktu dia tak mampu melakukannya. Saya ingin dia boleh melompat ke kursi waktu tikus lewat, dan saya boleh membunuh tikus itu untuknya. Dia dalam versi dunia nyata menganggap saya harus mengambil posisi inferior relatif terhadapnya. Dia dalam versi dunia teori pasti tidak akan mencobai saya dengan hal-hal yang tak bisa saya tanggungkan, karena kami sama. Sama.
Ah, kenapa saya meracau begini.
Mungkin saya irasional. Tapi, siapa yang bisa mengatakan mana yang rasional, dan mana yang irasional?
Kalaupun ada, pastilah orangnya hidup di dunia nyata, bukan pemimpi sejenis saya.
No comments:
Post a Comment