Thursday, December 02, 2004

SAYA TIDAK BERUNTUNG DENGAN PEREMPUAN

“Saya memang beruntung karena selama sekolah saya tidak pernah mengalami kesulitan apapun, dan sekarang mempunyai karir yang mulus. Tuhan sangat adil karena saya sepertinya tidak pernah beruntung dalam relationship, dalam masalah dengan perempuan.”

Kalimat itu diucapkan sambil tertawa oleh S, satu-satunya sahabat saya yang berkelamin laki-laki, suatu hari 3 tahun yang lalu. Saat itu kami sedang makan siang bersama di sebuah mall, dan saya baru bertanya kepadanya bagaimana dia bisa menyelesaikan studi magisternya lebih cepat dari seharusnya, walaupun terkendala oleh bahasa.


Tiga minggu lalu S mengirim pesan pendek kepada saya. Ajaibnya, pesan itu berbunyi Selamat Idul Fitri 1425 H, Mohon Maaf Lahir Batin.

Bah. Saya kecewa membaca pesan klise itu datang dari seorang yang logis, penuh perhitungan rasional seperti dia. Klise. Klise!! Dan apa artinya mohon maaf lahir batin? Minta maaf secara fisik dan mental? Saya sangat menghindari ucapan yang tidak jelas artinya itu. Saya juga tidak mengobral permintaan maaf. Kalau kamu pernah menerima permintaan maaf dari saya, yakinlah bahwa hal itu disebabkan saya menyadari benar-benar pernah bersalah kepada kamu, dan saya sadar betul apa artinya permintaan maaf saya itu. Tetapi tetap saja perkataan ‘maaf lahir batin’ akan sulit kamu dapatkan dari saya.

Saya katakan S adalah seorang yang logis, dan penuh perhitungan rasional, karena saya tahu persis bahwa memang seperti itulah dia. Saya mengenalnya di kelas 2 SMA, seorang yang cerdas dan pekerja keras, walaupun memang, ia cenderung masokis dalam hal belajar. Bakatnya adalah semua pelajaran eksakta, dan satu-satunya kelemahannya yang agak ketara adalah dalam bahasa Inggris. Dia sangat keras terhadap dirinya sendiri. Sadar bahwa mendengarkan musik adalah kelemahan yang bisa membuatnya lupa belajar, seringkali dia menyegel radionya dengan cellotape pada masa-masa ujian.

Kecerdasan, kecenderungan untuk bekerja keras ditambah sifat keras pada diri sendiri itu membuat dia tidak mengalami kesulitan selama studi, memang. Kami se-almamater, tetapi berbeda fakultas. Dia mendapatkan beasiswa untuk meraih gelar magister setelah lulus, dan ketika saya menyatakan kekaguman saya, dia tertawa dan berkata merendah, “Kebetulan aja kok. Soalnya dekannya suka sama gue.” Ya, dia memang lucu, aktif berorganisasi, dan pandai bergaul. Jangankan teman-teman seumur, orang-orang yang jauh lebih tua pun banyak yang terkesan padanya.


Ringkasnya sekarang dia sedang menempuh studi doktoralnya, yang lagi-lagi dikatakannya adalah karena ‘kebetulan.’ “Kebetulan gue suka ikut-ikut riset di tingkat universitas dan di tingkat fakultas.” “Kebetulan pas ada kesempatan.” “Kebetulan banget gue bisa keterima.” Dan sederet kebetulan lain yang menurut saya samasekali bukan kebetulan.

Tentang hubungannya dengan pacar-pacarnya yang selalu bermasalah, itu rasanya tidak bisa disebut ketidakberuntungan.

“Yah pastilah, cewek-cewek maunya sama cowok yang kurus,” tawanya di kesempatan makan siang dengan saya 3 tahun yang lalu itu. S memang jauh dari kurus. Sejak remaja beratnya selalu di atas 100 kilogram. Tapi apakah benar semua perempuan menghindari dia? Salah, salah samasekali. Selama kuliah S1 dia selalu punya pacar, seorang diantaranya begitu cantik sehingga saya yang perempuan pun tergetar melihatnya :D

Setelah lulus S1 dia bertunangan dengan teman sejurusannya, mari kita namakan dia F. Sebelum berangkat untuk studi lanjut ke Inggris, dia menelpon saya berkali-kali, suaranya tersendat-sendat, sedih karena orangtuanya tidak mengijinkan mereka menikah. “Bokap gue bilang, baru boleh paling cepet nanti tahun 2003,” adunya. Saat itu tahun 1999, tahun 2003 rasanya seabad jauhnya. Saya hibur dia tanpa hasil. Selama di Inggris dia rajin mengirim e-mail dan surat (ya, surat! Dengan perangko! Sungguh sulit dipercaya) yang antara lain berisi keluh-kesahnya karena udara dingin membuat dia mimisan terus-menerus, bahasa Inggrisnya tidak cukup baik untuk menangkap bahan kuliah dengan cepat, dan keinginannya untuk cepat-cepat bertemu kembali dengan F. Satu hal yang tidak dikeluhkannya adalah makanan Inggris, yang menjadi masalah besar buat banyak orang non-Inggris. “Yah dari dulu emang gue gak pernah susah soal nyari makanan yang cocok,” tulisnya.

Ya Tuhanku, jelaslah saya percaya soal itu. Karena belasan tahun yang lalu kamu pernah mengatakan, kamu bisa makan ‘nasi kucing’ sampai kenyang di Yogya dengan Rp 500. Oh ya, berapa sih harga seporsi nasi kucing, tanya saya. Seporsi harganya Rp 50, kata kamu ringan.

Begitu tiba di Jakarta dengan gelar magister, dia kembali menelpon saya dengan suara tersendat-sendat. Kali ini dia sedih karena kedua orangtuanya, plus orangtua F, meminta mereka segera menikah. Semua perasaannya pada F sudah hilang tanpa sisa. Bukan karena dia menemukan orang lain. Tapi semata-mata karena “Setaun gak ketemu si F, kayaknya mata gue kebuka. Aduhh, sekarang gue ngeliat dia jelek, gak pinter, gak menarik, fisik dan mental. Gue takut banget….gue udah terbang ke Lombok, ngomong langsung ke bokapnya F bahwa gue gak bisa nerusin pertunangan ini. GUE GAK MAU KAWIN SAMA F!!!! Yang ada gue dimaki-maki bokapnya, terus diceramahin sampe jam 2 pagi…belum lagi bokap gue juga ngelarang gue mutusin F.”

Kelabakan saya menerima telponnya setiap malam. “Aduh..mati gue..” adalah kalimat yang diulang-ulangnya dengan suara terputus-putus. Saya tidak bisa menolongnya, karena dia dipojokkan bukan saja oleh calon mertuanya, tapi juga oleh ayahnya sendiri. “Lobi nyokap lo!! Lobi juga nyokapnya F!” kata saya panik. Dengan lesu dia berkata ibunya terus menangis karena tidak tega putra kesayangannya menikah dengan orang yang tidak lagi dicintainya, tetapi ibunda F mengancam akan membuang F dari keluarga besar karena pertunangan yang diputuskan adalah aib yang serius. (Pertunangan mereka memang dirayakan besar-besaran di Lombok.)

Syukurlah persoalan itu selesai. Sejak saat itu sampai sekarang, S tidak pernah punya pacar. Dulu saya kira, dia memutuskan F karena menemukan orang lain. Dia menyangkal dan mengatakan dia benar-benar kehilangan minat pada F, tidak ada alasan lain. Sekarang saya tahu dia tidak berbohong.

Jelaslah bahwa bagi saya, dia bukannya tidak beruntung dalam masalah relationship. Orang yang selogis dan serasional dia, mungkin tidak akan lagi dengan gegabah berhubungan dekat dengan perempuan manapun, sejak peristiwa F yang penyelesaiannya memakan waktu hampir satu tahun dan menuntut keluarga besarnya terbang ke Lombok meminta maaf atas pembatalan pertunangan.

Omong-omong, di mall dulu itu, setelah makan siang saya menemani S mencari peralatan audio di salah satu toko. Dan saya sengaja tidak ingin berjalan terlalu dekat dengannya, karena, aduh, saya tidak mau orang-orang di mall (yang notabene totally strangers itu) mengira saya adalah pacar si 'raksasa' di sebelah saya itu. Astaga tololnya saya.

Tiga minggu lalu saya mengirim pesan pendek kepada S, meminta maaf kepadanya. Saya tahu persis kesalahan saya kepadanya. Dan entah kenapa, saya ingin meminta maafnya dengan kalimat aneh itu: “S, maafkan saya lahir batin”.

Mudah-mudahan, dia dapat memaafkan saya.

No comments:

Post a Comment