Saya belum sepuluh tahun ketika mengetahui apa ambisi ibu saya untuk anak-anaknya: selain kecemerlangan akademis, juga kemampuan berenang, serta bermain tenis dan piano tanpa cela. Dan saya sebelum sepuluh tahun: tergila-gila pada ibu saya, ingin selalu merebut perhatiannya, ingin dipuji olehnya (karena dia tidak pernah memuji kecuali anak tetangga). Juga, sebelum sepuluh tahun, saya gemar bersekolah, begitu gemarnya hingga ke tingkat yang membahayakan: saya tergila-gila mengerjakan pekerjaan rumah. Oh, hingga kelas dua SMA kegemaran saya adalah berjaga hingga pagi menyelesaikan soal-soal di buku matematika. Tetapi, cerita ini bukan tentang matematika.
Demikianlah tidak sulit bagi saya untuk berkilau-kilau di bidang akademik, walaupun karena mudahnya pelajaran di sekolah dasar, sekitar seratus anak tetangga seumuran juga sama berkilau-kilaunya seperti saya. Saya tak ingat Ibu pernah memuji kecemerlangan akademis saya. Hingga kini pun, walaupun dengan malu hati, saya akui betapa saya haus akan pujian darinya. Tetapi, kadang terpikir, benarkah mengharap pujian dari ibu kita sendiri adalah sedemikian terlarang?
Karena menjadi juara kelas bertahun-tahun tak mengesankan ibu, maka berikutnya tentulah: berenang. Ini lebih sulit sedikit daripada bahasa dan matematika, tetapi dengan suatu keajaiban, akhirnya saya menguasainya. Awalnya saya hanya berjalan-jalan di dalam kolam, lalu mengambangkan tubuh dengan tangan berpegangan pada lantai kolam, lalu akhirnya: berenang. Tetapi, tetapi: saya bukanlah juara renang. Gaya renang saya pun tak lengkap; hingga kini saya tidak bisa berenang dengan gaya kupu-kupu. Lomba renang tak menarik minat saya, karena selamanya saya adalah si soliter yang benci berkompetisi secara terbuka. Berenang memang menyenangkan; kegiatan itu memberi jalan untuk saya bersendirian dalam waktu lama tanpa diganggu, dan saya berterimakasih pada Ibu yang telah memaksa saya belajar berenang. Tapi tanpa gelar juara, tidak ada pujian Ibu.
Berikutnya: tenis. Dengan tennis hanya ada dua pilihan: menang atau kalah. Kamu tidak bisa bermain sendirian. Ini bukanlah olahraga yang soliter. Tak perlu waktu lama bagi saya yang sangat mengenal diri sendiri untuk mengetahui bahwa saya tidak akan pernah menguasainya. Bahkan: saya samasekali tidak menyukainya. (Mungkin saya akan menyukai squash, karena olahraga itu bisa menjadi soliter, tapi saat itu saya belum mengenalnya). Saya mempelajarinya selama tiga tahun, tapi lalu tidak kuat lagi menahankan pandangan kecewa Ibu yang selalu menyertai saya selama latihan.
Setelah itu tentunya: piano.
Saya dan Ibu, berdua saja, berangkat ke tempat kursus yang jauhnya delapan kilometer dari rumah kami saat itu. Kami naik becak sampai jalan besar, kemudian naik bus kota. Guru saya perempuan cantik yang bengis: pukulannya di jari-jari dan tangan saya tidak sesakit sabetan lidahnya yang tajam selama menit-menit panjang yang saya habiskan bersamanya. Dari si bengis yang cantik inilah saya mengetahui bahwa saya bodoh, lamban, pemicu darahtinggi, malas, tidak bisa diajar, dan tidak berbakat. Semuanya tidak pernah terkirakan oleh saya sebelumnya: sebelumnya, saya mengira saya cukup pintar, karena bukankah saya biasa menjadi juara kelas?
Tidak terhitung lagi berapa kali saya menangis di kelas privat piano, dan biasanya si Bengis Cantik akan dengan marah membanting pintu dan meninggalkan saya sendirian sampai saya bisa berhenti menangis. Tetapi, inilah anehnya: ketiga saudara saya berhenti belajar piano pada kesempatan pertama, tetapi saya malah terus mempelajarinya hingga berbelas-belas tahun kemudian.
Lima tahun menahankan penghinaan si Bengis, hari yang saya tunggu-tunggu datang juga. Saya dan Ibu berpamitan padanya: kami akan pergi ke tempat yang jauh, dan piano saya akan tetap di sini. Di tempat yang jauh itu juga tidak ada guru piano yang mengerti bahasa kami. Di tempat yang jauh itu, boleh jadi saya tidak akan pernah menyentuh piano lagi.
“Dia tidak akan berhenti,” kata si Bengis, menatap lurus ke mata ibu saya. “Bakatnya baik, dia tidak takut berpayah-payah dan dengan kemampuannya, dia akan sanggup belajar bahkan dari guru piano yang berbahasa asing.” Saya memandangi si Bengis, mengira-ngira apa maksud sarkastik di balik kalimatnya. Lalu saya memandang Ibu dan melihat kilatan halus di mata coklatnya.
Saat itu saya tahu, kebanggaan tidak harus diungkapkan dalam bentuk pujian. Satu kilatan halus itu sudah cukup buat saya.
Enambelas tahun sudah lewat sejak kejadian itu. Sepotong pujian pun tidak pernah keluar dari mulut ibu saya selama itu. Tetapi: ibu membelikan saya piano di tempat yang jauh itu. Ibu memastikan sebuah piano selalu ada di dekat saya, kemanapun kami berpindah-pindah di kemudian hari.
Sekarang, setiap duduk di piano saya merasa sangat bahagia: ibu telah memberi saya jalan untuk menikmati keindahan soliter di depan alat musik ini. Piano memang sesuai dengan jiwa saya: sendirian, dia adalah alat yang bisa mengeluarkan harmoni dan melodi sekaligus. Agaknya bukan hanya pujian yang dapat menghangatkan hati dan mengembangkan motivasi. Kemampuannya mengenali saya dan bagaimana dia dapat menolong saya mengembangkan diri, hingga kini terasa begitu menyentuh. Siapakah orangnya yang mau repot-repot mengenali saya, selain dia?
Tetapi marilah kita tidak membohongi diri sendiri. Apapun, saya tetaplah manusia tak tahu diri yang gemar dipuji. Kamu bisa memuji sesuatu yang sangat remeh seperti misalnya sepatu saya dan mendapati saya melayang seketika. Tapi sesungguhnya tidak ada pujian yang dapat kamu keluarkan untuk membuat saya sedemikian mabuk. Satu-satunya pujian yang memabukkan saya tidak dapat diucapkan: dia hanya berupa kilatan halus, melintas sekilas di sepasang mata coklat muda.
*kilatan halus, melintas sekilas di sepasang mata coklat muda begitu selesai membaca artikel berbahasa Indonesia yang baik dan benar*
ReplyDeleteTuch...dipuji lagi deh. :p
Wah, Anonymous_X, selama ini saya tidak pernah menyangka bahwa Anda masih dapat berbahasa Indonesia.
ReplyDelete:D