Kalimat di atas adalah terjemahan saya untuk perkataan seorang teman, “bukan apa-nya, tapi dengan siapa-nya”. Walaupun kalimat terjemahan saya itu tidak orisinal, dalam arti saya sudah pernah membacanya di suatu tempat, suatu waktu, tapi saya yakin kalimat teman saya yang dalam bahasa Indonesia itu adalah 100% orisinal, hasil dari pemikiran dan pengamatannya sendiri.
Saya sangat gemar memunguti perkataan orang lain, terutama tentunya orang-orang yang saya anggap menarik. Beberapa kali saya mengatakan sesuatu yang ‘aneh’ kepada N, untuk memancing komentarnya. N adalah satu-satunya orang yang sadar bahwa kadang-kadang ucapan yang keluar dari mulut saya adalah pancingan, permintaan untuk sebuah input, tapi saya terlalu malu atau terlalu sopan (ya ampun) untuk memintanya secara langsung. Suatu kali dengan di luar dugaan dia berkata, “Cerita apa yang sedang kamu tulis sekarang?” hanya karena saya menanyakan apa pakaian favoritnya waktu pergi tidur. Saya jadi harus mengakui bahwa saya perlu inputnya untuk karakter cerita saya waktu itu. Agar karakter itu hidup, saya memakai detil nyata untuk melukiskannya, dan detil-detil nyata itu (termasuk seluruh isi lemari pakaian si karakter) saya ambil dari kehidupan N.
N tidak pernah berkeberatan dengan cara saya yang aneh itu. Cara saya meminta inputnya cukup kriminil, kadang dengan mengeluarkan komentar yang membuatnya marah. Saya memang sangat menginginkan kalimat spontan dari dia, tanggapan nyata dari dia untuk komentar saya yang menyakitkan itu. Komentar balik darinya akan saya catat dan saya tuliskan di dalam cerita saya.
Akhirnya dia tahu bahwa yang saya lakukan lagi-lagi adalah untuk cerita-cerita konyol saya, dan dia tidak menjadi marah karenanya. Dia sendiri agak kagum pada kalimat-kalimatnya sendiri, akhirnya. Dan dia mengerti (sepertinya) kenapa saya begitu mengagumi kalimat-kalimatnya, caranya berpikir dan menganalisa, semua kalimat-kalimat spontannya. Begitu sukanya saya menyerap kalimat-kalimatnya, hingga pada suatu rentang waktu tertentu, setiap hari saya mengirimkan kepadanya kutipan kalimat-kalimat ucapan dia yang menjadi favorit saya. Begini biasanya saya tuliskan kutipan itu: If you are not a drug addict, or HIV-positive, then you have all the reasons to feel happy. Please be happy. (N, 1972 - …)
Ada banyak lagi kalimatnya yang saya kumpulkan. Dia bisa melihatnya di sana-sini dalam cerita-cerita saya. Dia adalah satu-satunya makhluk bumi yang sudah membaca hampir seluruh cerita saya.
Dua orang lain yang saya temukan sangat menarik adalah Keparat dan Kelinci. Hampir setiap hari saya membungkuk memunguti kalimat-kalimat mereka yang berceceran di lantai, kalimat-kalimat yang mereka lontarkan begitu saja tanpa menyadari keindahannya, tanpa menyadari begitu dalamnya arti kalimat mereka menurut saya.
Keparat sangat pemarah dan temperamental, sedangkan Kelinci sangat suka makan brokoli. (Maafkan kalimat tanpa nalar ini, tapi saya terlanjur menyukainya.) Keduanya berpikir cepat dan mengeluarkan pendapat dengan cepat juga, tanpa ragu-ragu, tanpa merasa perlu bersembunyi di balik kalimat-kalimat kiasan yang bersayap-sayap. Kadang tanpa berpikir bahwa mereka tidak sedang berbicara dengan orang dengan tingkat pemahaman dan keterbukaan pikiran yang setara dengan mereka. Rasanya mereka tidak pernah mengira, bahwa saya terengah-engah mengikuti pemikiran mereka. Tapi belajar memang tidak mudah, dan sialnya, saya yang malang ini suka sekali belajar.
Jumat lalu saya memancing input dari Kelinci. Bukan dengan membuatnya marah (seperti yang kerap saya lakukan pada N dan Keparat), tapi dengan membohonginya. Samar-samar tentunya dia tahu saya sedang berbohong. Tapi, tetap saya dapatkan dari dia apa yang saya inginkan: input yang spontan, riil, aplikabel, tidak hipokrit. Dengan gembira saya pungut darinya kalimat berharga yang menjadi judul tulisan ini, kalimat yang bisa diterapkan dalam segala hal dalam hidup, bukan hanya dalam satu kasus.
Kenapa ya ada orang-orang seperti itu? Orang-orang biasa di sekitar kamu, bukan filsuf, tidak berjubah dan seumur hidupnya tidak akan pernah berpikir untuk mengenakan sorban (berani taruhan), tapi bisa mengeluarkan kalimat-kalimat dengan pengertian luarbiasa yang bisa mengubah jalur pemikiran orang-orang picik seperti saya. Rupanya kelas filsafat ada di mana-mana, bukan hanya di gedung angkuh dengan profesor yang tidak kalah angkuhnya.
Kapan-kapan akan saya tuliskan beberapa pelajaran penting yang saya dapatkan dari Keparat.
Sekarang yang penting adalah saya ingin meminta maaf kepada Kelinci karena saya sudah membohonginya, untuk menarik keluar dari mulutnya kalimat spontan yang saya perlukan untuk cerita konyol saya yang berikutnya. Saya sudah memerasnya seperti preman pasar. Maafkan si bodoh ini…dia ini hanya ingin (dan sangat perlu) diajar.
No comments:
Post a Comment